JAKARTA – Kerjasama kolektif dari seluruh pemangku kepentingan di dalam di bidang pemroses proses pembayaran digital (switching) dinilai sangat penting di dalam Indonesia. Kerja serupa antara pemangku kepentingan itu dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan siber yang dimaksud kuat di menghadapi ancaman kejahatan siber.
Hal ini disampaikan di seminar “Indonesia Cyber Risk 2024-Mitigating Cyber Risk and Building a Trust”, yang digunakan diselenggarakan oleh Lembaga Penguraian Sektor Keuangan Indonesia (LPPI). Pada kesempatan tersebut, Direktur Utama PT Jalin Pembayaran Nusantara Ario Tejo Bayu Aji menekankan pentingnya langkah proaktif dari para pelaku lapangan usaha untuk meningkatkan kekuatan ketahanan perusahaan pada menghadapi ancaman siber.
“Langkah-langkah yang disebutkan mencakup menegaskan sistem manajemen keamanan informasi memenuhi standar internasional yang tersebut diakui juga masih mematuhi ketentuan regulator,” ungkapnya pada siaran pers, Kamis (4/7/2024).
Seiring dengan perkembangan lapangan usaha sistem pembayaran modern, permintaan terhadap layanan keuangan yang tersebut cepat, efisien, lalu aman terus meningkat. Pertumbuhan kegiatan pada kanal pembayaran digital sudah pernah memberikan kemudahan bagi publik luas. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga Desember 2023, nilai operasi dengan QRIS mencapai Rp229,96 triliun dengan total pengguna lebih besar dari 45,78 juta.
Dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2020-2025, sistem pembayaran diidentifikasi sebagai sektor yang dimaksud sangat diatur proses bisnisnya oleh regulator. Setiap tahapan operasi keuangan, mulai dari front-end hingga back-end, dilengkapi dengan berbagai alat pengamanan seperti Fraud Detection System (FDS), tokenisasi, anti-skimming, kemudian lain-lain. Langkah-langkah ini diperlukan untuk meyakinkan operasi keuangan digital tetap saja aman serta terlindungi dari peluang ancaman siber.
Ario menyoroti pentingnya sektor ini miliki protokol respons insiden yang tersebut terstruktur juga disiplin di eksekusi manajemen krisis. Selain itu, audit keamanan berkala juga evaluasi langkah-langkah keamanan dianggap krusial untuk meningkatkan kesiapsiagaan di area masa depan.
Dia menegaskan pentingnya kolaborasi antara bank, fintech, lembaga switching dan juga semua pemangku kepentingan lainnya di lapangan usaha sistem pembayaran perlu mendapat perhatian bersama-sama.
“Industri perlu mencari prospek kolaborasi antarlembaga untuk memaksimalkan biaya penanaman modal di menguatkan ketahanan siber melalui pemanfaatan infrastruktur bersama. Tujuannya, agar nvestasi di menguatkan aspek ketahanan siber tidak ada menjadi beban bidang yang digunakan berdampak pada pelayanan terhadap nasabah,” paparnya.
Ario juga menekankan pentingnya merancang budaya perusahaan yang tersebut kuat di keamanan siber. Setiap lembaga keuangan juga penyedia infrastruktur sistem pembayaran menurutnya harus mengadopsi praktik terbaik, termasuk pemakaian teknologi terbaru kemudian berbagi informasi tentang peluang ancaman.
“Kolaborasi lalu peningkatan literasi adalah kunci pada menghadapi ancaman siber. Semua pihak harus bersatu untuk memberikan pemeliharaan terbaik bagi pengguna sistem pembayaran di tempat Indonesia,” tutup Ario.